MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan jumlah laporan kasus perundungan di kalangan mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Indonesia sebanyak 2.920 aduan. Jumlah tersebut terhitung sejak Juli 2023 hingga 15 Agustus 2025.
Setelah diproses secara formal dan didukung dengan bukti, tercatat ada 733 kasus perundungan atau sekitar 25 persen dari total aduan. “Kami memprosesnya untuk memastikan mana yang hanya ngeluh-ngeluh, cengeng-cengeng saja, atau mana yang benar ada bukti-buktinya,” ujar Budi dalam acara seminar nasional tentang pencegahan perundungan, gratifikasi, korupsi, dan tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan di Aula Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Jumat, 22 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Perundungan paling banyak terjadi di rumah sakit Kementerian Kesehatan dengan 433 kasus. Kasus perundungan mahasiswa PPDS terbanyak ada di RS Kandou Manado dengan 84 kasus, menyusul RSHS Bandung 83 kasus, RSUP IGNG Ngoerah 43 kasus, RSUP dr Sardjito 39 kasus, RSUP dr Cipto Mangunkusumo 37 kasus, RSUP Moh. Hoesin Palembang 34 kasus, RSUP dr Kariadi 30 kasus, RSUP H. Adam Malik 29 kasus, RSUP dr M. Djamil 25 kasus, dan RSUP dr Wahidin Sudirohusodo 18 kasus. Kemudian di RSUP Persahabatan 5 kasus, RSJPD Harapan Kita 3 kasus, RS Orthopedi Soeharso 2 kasus, dan RS Mata Cicendo Bandung 1 kasus.
Dari 433 aduan perundungan di rumah sakit Kementerian Kesehatan, sebanyak 124 kasus selesai ditangani dan 98 orang yang terlibat dikenai sanksi, di antaranya 10 direktur rumah sakit diberi teguran tertulis dan seorang pelaksana tugas direktur utama diberhentikan. Kemudian seorang dosen yang menjadi dokter penanggung jawab pelayanan diberhentikan, 3 mahasiswa PPDS dikembalikan ke fakultas kedokteran, 8 mahasiswa PPDS diskors, dan 49 mahasiswa PPDS mendapat teguran tertulis. Adapun 309 kasus lain dalam pemantauan.
Di tingkat rumah sakit umum daerah, perundungan mahasiswa PPDS paling banyak terjadi di RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh, dengan 31 kasus. Beberapa kasus lain terjadi di RSUD Moewardi, Surakarta, dengan 21 kasus; RSUD Saiful Anwar, Malang, 18 kasus; RSUD dr Soetomo, Surabaya, 12 kasus; RSUD Arifin Ahmad, Riau, 9 kasus; dan RSUD Ulin, Banjarmasin, 5 kasus. Adapun di rumah sakit swasta tercatat 21 kasus perundungan mahasiswa PPDS, puskesmas 3 kasus, RS TNI/Polri 2 kasus, dan klinik kesehatan swasta 1 kasus.
Kasus lain terjadi di rumah sakit kampus, yang terbanyak di RS Universitas Diponegoro, Semarang, dengan 10 kasus. Kemudian di RS Universitas Kristen Indonesia, RSGM Universitas Airlangga, dan RS Universitas Airlangga masing-masing 3 kasus perundungan mahasiswa PPDS. Di RS Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin Makassar masing-masing 2 kasus. Adapun masing-masing 1 kasus tercatat di RS Universitas Sumatera Utara, RS Universitas Brawijaya, RSKGM Universitas Indonesia, RS Universitas Sriwijaya, dan RS Universitas Andalas.
Bentuk perundungan di 433 rumah sakit Kementerian Kesehatan adalah perundungan fisik 43 kasus, verbal 186 kejadian, cyber bullying 3 kasus, serta yang paling banyak dikategorikan nonfisik dan nonverbal lain 340 kasus. Misalnya pembiayaan di luar kebutuhan pendidikan 101 kasus, tugas jaga di luar batas wajar 72 kasus, penugasan untuk kepentingan pribadi senior atau konsulen 122 kasus, dan tindakan mengucilkan atau mengabaikan 43 kasus. “Dimintain uang kalau iuran buat nyanyi atau makan-makan itu bukan bullying. Tapi kalau diminta uang sampai miliaran rupiah setahun itu bullying. Kami punya batas-batas yang jelas seperti apa,” kata Budi Gunadi.