Liputan6.com, Jakarta - Media sosial membuat batas antara selebritas dan penggemar semakin kabur. Hanya dengan sekali klik, seseorang bisa melihat kehidupan pribadi idolanya, bahkan merasa seolah benar-benar mengenalnya.
Dilansir dari National Geographic, fenomena ini dikenal dengan nama hubungan parasosial. Parasosial yakni hubungan satu arah di mana penggemar merasa dekat, sementara sang idola sama sekali tidak mengetahui keberadaannya.
Kasus ini terjadi pada penyanyi Chappell Roan, ia mengaku diteror penggemarnya. Teror ini dilakukan lewat perilaku menguntit, menyentuh tanpa izin, hingga menghubungi keluarganya. Hal tersebut memperlihatkan sisi gelap fenomena ini.
Hal yang kini banyak terjadi pada dunia entertaiment Korea, khususnya pada dunia K-Pop. Banyak penggemar yang cenderung berlebihan, bahkan mengganggu stabilitas si artis.
Tidak jarang, penggemar melakukan perbuatan yang membahayakan sang idola, mengklaim sang idola sebagai miliknya, padahal si idola sendiri tidak mengenal dirinya.
Ternyata, ini bukanlah sebuah fenomena baru. Parasosial telah diteliti sejak 1950-an ketika televisi membuat para penonton seolah-olah “diajak bicara langsung” oleh pembawa acara.
Hal yang menjadi pertantaan besar, apakah medisa sosial yang menawarkan kemudahan berinteraksi bisa makin memperparah ilusi ini?
Fakta Otak Manusia
Istilah interaksi parasosial pertama kali muncul pada tahun 1956 lewat sebuah kajian oleh Richard Horton dan Ronald Wohl. Pada saat itu, para psikolog khawatir penonton sulit membedakan kedekatan semu dengan figur televisi dibandng hubungan nyata.
Pada tahun 70-an dan 80-an peneliti mulai berhipotesis bahwa kesepian dapat mendorong seseorang menciptakan sebuah ikatan parasosial.
Tetapi, seorang profesor dari SUNY Empire, Gayle Stever, membantah pernyataan tersebut. Ia menyebut, belum ada penelitian lebih lanjut untuk mendukung hipotesis tersebut.
“Ya, orang yang kesepian memang membantuk hubungan parasosial, tapi begitu pula orang yang kesepian, yang juga cenderung menjalin koneksi dengan orang tersebut di layar,” katanya.
Otak manusia memang dirancang untuk mencari rasa aman dan nyaman. Hal tersebut menyebabkan tokoh fiksi atau selebritas bisa menimbulkan perasaan keterikatan yang kuat, meskipun tidak ada interaksi nyata. Menariknya, justru mereka yang memiliki hubungan sosial sehat di dunia nyata cenderung membentuk hubungan parasosial yang lebih positif.
Media Sosial dan Ilusi Semu
Hubungan parasosial, yang dulu hanya sekadar ikatan satu arah antara penggemar dan tokoh publik, kini mengalami pergeseran besar di era media sosial.
Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram memungkinkan kreator untuk secara sadar membangun kedekatan semu dengan audiens sebagai bagian dari strategi bisnis mereka. Keaslian yang seolah-olah nyata ini dimanfaatkan untuk menjaga loyalitas para pengikut, tentunya untuk tujuan komersial.
Namun, kondisi ini juga bisa menjadi bumerang. Seperti yang dijelaskan Mel Stanfill, profesor humaniora digital di University of Central Florida sekaligus penulis buku Fandom Is Ugly,
“Ketika [penggemar] mendapatkan akses ke selebritas melalui unggahan media sosial, hal itu meningkatkan persepsi keintiman. Orang-orang merasa mereka benar-benar memiliki hubungan lebih daripada yang sebenarnya,” kata Stanfill.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial memperkuat hubungan parasosial secara masif. Jika sebelumnya penggemar hampir tidak pernah berinteraksi langsung dengan tokoh idola, kini batasan itu memudar, pesan bisa dibaca, bahkan dibalas langsung oleh selebritas.
Menurut Stever, otak manusia memperlakukan gambar di layar sama seperti melihat gambar secara langsung dalam kehidupan nyata.
Ketika Parasosial Menjadi Toksik
Hubungan parasosial, yang pada awalnya terasa aman dan penuh batasan sehat, bisa berubah menjadi toksik ketika keintiman semu terasa terlalu nyata di benak penggemar.
Awalnya, kedekatan ini terbentuk lewat menonton layar, lalu diperkuat dengan peluang komunikasi langsung di kolom komentar.
Seiring meningkatnya popularitas budaya fandom sejak akhir abad ke-20, fenomena ini kerap dikaitkan dengan remaja dan sifat kekanak-kanakan. Padahal, banyak orang dewasa juga terlibat dalam budaya penggemar sepanjang hidupnya.
Namun, menurut Stever, remaja memang lebih rentan membangun ikatan parasosial yang intens.
“Jenis perilaku toksik yang (Chappell) jelaskan adalah ciri khas masa remaja,” ujarnya.
“Bukan berarti penggemar dewasa tidak pernah bertindak seperti itu, tapi kasusnya sangat jarang,” tambah Stever.
Media sosial menjadi masalah, perilaku yang dulu mungkin hanya muncul pada segelintir orang kini bisa menyebar luas.
“Ketika semua interaksi berlangsung lewat ponsel, fakta bahwa ada manusia nyata di baliknya sering terlupakan. Ada efek ruang gema yang membuat orang merasa semua orang setuju dengan mereka, sehingga perilaku agresif seolah sah,” tekan Stanfill.
Akibatnya, hubungan parasosial yang awalnya sehat bisa berubah menjadi perundungan massal.
“(Pelaku dalam fandom) kini lebih terlihat daripada sebelumnya. Mereka lebih mudah berkoordinasi dan lebih keras suaranya, meskipun hanya sebagian kecil dari populasi fandom,” tambah Stanfill.