REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak pihak menyangka bahwa kemampuan multitalenta Amich Alhumami sedemikian rupa di tingkat global, regional, dan nasional, diasah dan diasuh dalam lingkungan elite perkotaan. Setidaknya, tumbuh kembang dari latarbelakang keluarga kaya. Semua anggapan ini keliru!
Akseptabilitas golongan dalam struktur sosial
Tumbuh dalam tradisi santri di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik, sebuah pesantren salafiyah yang kemudian mengalami modernisasi dan bahkan pimpinannya, K.H. Faqih Maskumambang, merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Amich Alhumami menempuh perjalanan intelektual yang unik.
Ia aktifis HMI Cabang Bandung pertengahan dekade 1980an yang juga menjadi salah satu Ketua PB HMI 1990-1992, era ketua umum Ferry Mursyidan Baldan. Kelak, ia terlibat dalam organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Relasi sosial budayanya menjangkau organisasi kemasyarakatan aliran nasionalis-sekuler dan kelompok non-Muslim yang tergabung dalam organisasi sosial-keagamaan yang lain.
Latarbelakang sosial budaya, pemikiran, dan pendidikannya mencakup spektrum yang luas, sudah seperti studi antar-peradaban dunia. Dalam spektrum geostrategi, mencakup wilayah Timur-Barat, yang selalu ia kontekstualkan dalam lanskap Geostrategi Indonesia, sebuah cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi faktor internal dan eksternal diversitas Indonesia sebagai negara kesatuan (uniteralisme).
Keunikan tersebut menunjukkan bahwa Anggota Dewan Pakar Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani Pengurus Pusat Muhammadiyah 2022-2027 ini dapat menjadi representasi organisasi sosial keagamaan Islam mainstream: NU dan Muhammadiyah. Latar belakang, pengalaman panjang sosial-kultural yang berbasis kuat pada pendidikan pesantren dan ormas keislaman, serta pengalaman studi di dunia Barat, kelak membentuk diri Amich Alhumami berkembang menjadi Manusia Indonesia yang utuh.
Dengan khazanah sosial-kultural yang kaya itu, ia menyelami pemikiran dan suasana kebatinan serta mewakili aspirasi kalangan Muslim lintas organisasi, sehingga tampaknya dapat menjadi jembatan penghubung antara kelompok aliran nasionalis dan sosialis-sekuler. Dalam realitas sosial politik di Indonesia, peran jembatan atau agen penghubung ini penting, karena tiga DNA golongan besar NKRI (Islam, Nasionalisme, Sosialisme), sampai hari ini masih diwarnai polarisasi sosial-politik; seolah tidak pernah bisa menjadi suatu organisme yang bersenyawa dalam ‘satu tarikan nafas’.
Dengan rendah hati Amich Alhumami tidak memvonis benar-salahnya tiga DNA ini, yang rumit dikonvergensi atau menjadi organisme, yang juntrungnya akan semakin mengental friksi politik. Menurutnya, secara sosiologis dan praksis politik, fenomena polarisasi tersebut merupakan faktor alamiah dan lumrah belaka. “Fenomena ini harus dipandang sebagai khazanah kehidupan kebangsaan yang kaya dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia,” tegasnya.
Melalui IPMas, ia meyakini menjadi indikator pembangunan non ekonomi yang menjadi salah satu rujukan utama memotret kondisi kualitas SDM dan masyarakat di tanah air untuk stabilitas sosial yang luas. “Di antara kualitasnya, pembangunan yang esensial harus dikembangkan untuk menghargai keragaman dan perbedaan, membangun harmoni sosial, serta mengukuhkan solidaritas sosial dan daya rekat masyarakat,” papar Wakil Ketua I/Penanggungjawab Pilar Pembangunan Sosial-Tim Pelaksana Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD’s) Indonesia ini.
Santri tulen Maskumambang Gresik
Dari kecil Amich merasakan bagaimana pendidikan berjalan dari peran ayahnya, Humam Adnan, yang mengajar di mushola dan masjid sekitar Kampung Siraman Kelurahan Sembung Anyar, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur. Humam merupakan anak tokoh masyarakat di sana, yaitu KH. Adnan.
Kakek, ayah, anak ini merupakan santri tulen Maskumambang Gresik, pesantren para intelektual-aktifis pergerakan Indonesia modern di pesisir timur Jawa, yang berdiri sejak 1859 oleh KH. Abdul Djabbar, ayahnya KH. Faqih Maskumambang. Adnan, kakek Amich, berguru langsung kepada KH. Faqih Maskumambang. Humam Adnan, ayahnya Amich, berguru kepada anak Kiai Faqih, yaitu KH Ammar Faqih. Amich Alhumami berguru kepada KH. Nadjih Ahjad, menantu KH. Ammar Faqih.
Tampak rantai sanad keilmuan dan nasab sambung-menyambung antar-keturunan ini melalui ekstafet kepemimpinan Pesantren Maskumambang Gresik. Dari KH. Faqih Maskumambang, yang setelah wafatnya diteruskan oleh KH. Ammar Faqih; kemudian diteruskan oleh KH. Nadjih Ahjad.
Humam Adnan, ayah Amich, meneruskan jejak sang guru, yang mencerahkan cakrawala wawasan, pengetahuan, mental dan spiritual anak-anak dan warga sekitar tempat tinggal. Sambil berdakwah, Humam bercocok tanam, beternak, dan berdagang. Tutur kata dan perangai kesehariannya menjadi inspirasi banyak orang di kampung tersebut. Mereka menjadi termotivasi untuk mencontoh akhlak Humam Adnan.
Saking mulia akhlak dan kebijaksanaannya, seorang lurah di sana, Haji Imam Rasyidi, menikahkan putrinya, Mukhlisah, dengan Humam Adnan. Cinta keduanya menjadi energi dakwah Islam di Kampung Siraman, yang kemudian menyebar lebih luas lagi hingga Kelurahan Sambung Anyar, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur.
Pasangan Humam Adanan dan Mukhlisah dikenal sebagai guru dan sangat aktif dalam dunia pendidikan. Keduanya mengajar keimanan dan ngaji Al-Qur’an, mendidik baca-tulis, serta mencontohkan akhlak mulia kepada lingkungan masyarakat Desa Siraman dan Sambung Anyar.
Kasih sayang keduanya melahirkan sembilan putra-putri. Yang pertama dan kedua merupakan lulusan IAIN Bandung dan IAIN Surabaya. Namun yang ketiga, Amich Alhumami, berbeda, yang di kemudian hari si anak introvert ini menempuh jalannya sendiri.
Tumbuh di lingkungan keluarga santri sekaligus pendidik, sejak kecil Amich dicerahkan dengan pengetahuan dan tradisi keislaman yang unik. Di Kecamatan Dukun, masyarakat Muslim di sana terafiliasi kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sekaligus.
Meski berbeda dalam sejumlah hal jalan syariat (seperti doa iftitah, doa qunut, penentuan hari raya, dan lain-lain), keduanya saling menguatkan untuk membangun daerah. “Saya menyaksikan sendiri bagaimana keduanya saling melengkapi dan menguatkan pembangunan di kampung, menjaga tradisi luhur, persatuan, dan penguatan ekonomi,” imbuh Amich Alhumami.
Seperti Kakek Adnan dan Bapak Humam, Amich yang belajar di Maskumambang Gresik sejak sekolah dasar sampai SMU, pernah suatu ketika berkeinginan belajar kepada orang lain di lembaga pendidikan lain. Sang ayah, Humam Adnan, tidak mengizinkannya, dengan alasan untuk menjaga sanad keilmuan yang bersambung kepada ulama Maskumambang Gresik.
Setelah menyelesaikan Madrasah Aliyah Maskumambang, Amich tidak langsung kuliah. Selama setahun, anak ketiga dari pasangan Humam Adnan dan Mukhlisah ini membantu orang tua ngangon wedus, jualan es keliling kampung serta menitipkan jajanan buatan ibunda ke pedagang pasar. Amich di masa kecil dan remaja juga bercocok tanam membantu sang ayah.
Amich merasakan sentuhan Humam dan Mukhlisah yang begitu tulus mendoakan dan membekalinya dengan motivasi untuk terus belajar. Barulah setelah itu Humam Adnan dan Mukhlisah merestui Amich melanjutkan pendidikan di rantau. Melalui proses seleksi mahasiswa, Amich Alhumami menjadi mahasiswa program studi Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan/IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) tahun 1984-1989.
Mentor dari intelektual hebat
Menjadi mahasiswa IKIP Bandung, Amich sempat bertanya-tanya, “Filsafat dan Sosiologi ini makhluk apa ya, belajar ilmu apa ini.” Di tengah kegelisahan demikian, ia tercerahkan melalui dua dosennya, Prof. Muhammad Djawad Dahlan; satu lagi pembimbing skripsinya, Muhammad Isa Sulaiman. Dua dosen ini sangat memahami kegelisahan para mahasiswa IKIP Bandung kala itu. Keduanya menyarankan para mahasiswa untuk tetap belajar hingga tamat. Setelah itu dibolehkan melanjutkan studi ke jenjang magister dan doktoral sesuai keinginan, bahkan sampai ke luar negeri.
Di akhir masa kuliah sarjana, Amich menyusun tugas akhir skripsi tentang konsep fitrah manusia dalam Islam. Ketika itu dia mendapatkan rujukan Kitab Tafsir Ibnu Katsir. Dia bedah buku ini, khususnya berkaitan dengan fitrah manusia. Dari situ Amich mengetahui bahwa manusia adalah makhluk pembelajar, yang selalu punya rasa ingin tahu; kemudian mendapatkan ilmu yang menjadi bekal membangun peradaban luhur.
Di sela-sela kuliah, Amich Alhumami terjun menjadi aktivis HMI Cabang Bandung, yang kelak menjadi stimulus kepribadiannya yang introvert untuk menjadi lebih terbuka. Maklum, lingkungan HMI dekade 1980an kala itu di tengah pergolakan politik asas tunggal Pancasila dan pemerintahan represif Orde Baru, menjadi ‘taman pembelajaran’ yang sungguh mengasyikan.
Di lingkungan HMI Cabang Bandung dan lintas cabang, Amich tumbuh menjadi aktifis pembelajar, penggerak pergerakan terutama kaderisasi SDM, serta salah satu motor kolaborator keilmuan-aktivisme kemahasiswaan.
Tanpa disadari, Amich memiliki banyak kolega sesama aktifis mahasiswa, dosen, dan tokoh pergerakan dari lintas perguruan tinggi dan organisasi masyarakat (ormas), terutama sejak ia terjun menjadi Ketua PB HMI 1990-1992. Ia bersama kawan-kawan terasa sangat ‘menikmati’ pemikiran mereka berupa pergerakan.
Berbekal aktivis HMI, Amich membangun silaturahmi dengan KH Engkin Zaenal Muttaqin (192-1985), ajengan kharismatik yang pernah menduduki posisi petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia juga mendapat asupan pemikiran keIslaman dan Keindonesiaan dari cendikiawan Muslim ternama, Nurcholish Madjid (1939-2005), serta Bang Imad alias ...