
PERNAHKAH kita membayangkan bagaimana rasanya ketika seorang ayah harus menjelaskan kepada anaknya bahwa hukum itu adil, padahal yang ia lihat di televisi justru sebaliknya? Rasa kecewa publik terhadap hukum kerap lahir dari pengalaman sehari-hari yang sederhana—saat mereka merasa bahwa kebenaran bisa kalah oleh kepentingan. Dari situlah pentingnya setiap keputusan hukum dan kebijakan negara dibaca bukan hanya dalam bingkai pasal undang-undang, tetapi juga pada keadilan rakyat biasa.
Abolisi dan amnesti yang diberikan Presiden kepada Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto menyita perhatian publik. Di satu sisi, ini memantik perbincangan mengenai batasan penggunaan hak prerogatif kasus-kasus korupsi. Di sisi lain, keputusan tersebut dipandang sebagai koreksi terhadap praktik penegakan hukum yang, dalam sejumlah kasus, terindikasi dibelokkan dari prinsip supremasi hukum.
Konstitusi memang menempatkan hak ini pada Presiden (Pasal 14 UUD 1945). Namun menerapkannya secara tepat memerlukan standar argumentasi yang kuat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara politik maupun hukum. Dalam konteks itu, keputusan ini mencerminkan politik hukum yang hendak mengembalikan muruah penegakan hukum pada prinsip keadilan.
Pemerintah menegaskan abolisi–amnesti ini tidak menciptakan preseden buruk, melainkan mencegah preseden lebih buruk: pembiaran atas proses hukum yang cacat objektivitas, bias, atau bertendensi politis. Publik merasakan bahwa pada sejumlah perkara sebelumnya, penegakan hukum tidak jarang bergeser menjadi instrumentalisasi hukum—hukum dijalankan secara selektif, mencederai rasa keadilan, dan menimbulkan kecurigaan atas independensi lembaga. Dalam lanskap seperti itu, intervensi konstitusional yang sah—bila didasarkan pada alasan yang jernih—dapat menjadi mekanisme koreksi agar penegakan hukum kembali ke jalur yang benar.
Pemurnian Agenda Antikorupsi
Pemberantasan korupsi harus bekerja pada dua sisi: ketegasan dan keadilan. Ia tak boleh berubah menjadi kriminalisasi atas nama moralitas semu. Prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, akuntabilitas, dan imparsialitas adalah rambu-rambu etik–hukum yang tak boleh diabaikan. Kita pernah menyaksikan bagaimana perkara korupsi dijadikan arena tarik-menarik kepentingan kekuasaan; perubahan regulasi, ritme penindakan yang mengikuti kalender politik, hingga keputusan yang kontroversial di pengadilan turut memperlemah kepercayaan publik.
Dalam konteks itulah abolisi dan amnesti dapat dibaca sebagai isyarat pemurnian: mengembalikan korupsi sebagai tindak pidana yang pembuktiannya harus kokoh—bukan sebagai alat untuk membungkus tujuan politik. Ketika mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat) pada seorang terdakwa tidak dapat dibuktikan meyakinkan, sementara konstruksi kerugian negara pun problematik, maka keberanian negara untuk menghentikan proses dan meniadakan akibat hukumnya bukanlah pelemahan pemberantasan korupsi; justru itu penguatan legitimasi penegakan hukum.
Beberapa argumentasi perlu dikemukakan mengenai pentingnya pemurnian agenda antikorupsi bagi reformasi hukum. Pertama, restorasi kepercayaan publik. Keputusan ini memberi pesan bahwa negara tidak segan mengoreksi diri ketika proses hukum melenceng. Kepercayaan adalah modal sosial penegakan hukum; tanpa itu, setiap vonis pun akan dibaca sebagai politik, bukan keadilan.
Kedua, penataan ulang standar pembuktian. Kasus-kasus korupsi sering bertumpu pada audit kerugian negara yang kemudian diperlakukan seolah- olah final truth. Padahal, audit adalah alat bantu—ia harus ditopang rangkaian bukti yang menunjukkan perbuatan melawan hukum, niat jahat, relasi kausal yang jelas, serta unlawful gain. Koreksi atas penggunaan audit dan penalaran kausal yang lemah akan memperbaiki kualitas perkara.
Ketiga, penegasan independensi yudisial dan profesionalisme penuntutan. Abolisi–amnesti yang digunakan secara selektif dan argumentatif menegaskan bahwa eksekutif menginginkan jalannya peradilan yang benar: bebas dari tekanan, bersih dari konflik kepentingan, dan berorientasi pada kebenaran materiil.
Dampak Turunan pada Perkara Terkait
Pada perkara importasi gula yang menyeret banyak pihak, abolisi terhadap terpidana utama mengubah peta pembuktian. Jika pengadilan sebelumnya menyatakan tidak terbukti kerugian negara dari sisi kebijakan impor, maka perkara terhadap pihak-pihak lain tak semestinya lagi memikul beban pembuktian pada aspek yang telah gugur. Fokusnya bergeser: apakah transaksi bisnis yang dilakukan merugikan BUMN secara nyata dan melanggar hukum, ataukah itu praktik bisnis yang wajar. Di sinilah due process diuji—surat dakwaan harus disesuaikan, pembuktian diarahkan pada isu yang relevan, dan pemborosan proses dihindari.
Agar pemurnian agenda antikorupsi tidak berhenti pada satu-dua keputusan, perlu langkah struktural sebagai rekomendasi kebijakan untuk menutup ruang instrumentalisasi.
Pertama, perlu disiapkan Standar Nasional Pembuktian Tipikor dan Prosecution Guidelines lintas institusi (Kejaksaan, KPK, Kepolisian) yang mewajibkan mens rea analysis, causation matrix, dan benefit tracing sebelum penetapan tersangka.
Kedua, Audit Kerugian Negara yang Forensically Sound. Perkuat metodologi dan peer review audit kerugian negara; posisikan hasilnya sebagai bukti ahli yang dapat diperdebatkan, bukan “vonis pendahuluan”.
Ketiga, Firewall Kelembagaan. Wajibkan conflict-of-interest disclosure dan recusal pada pejabat penegak hukum; aktifkan pengawasan internal–eksternal dengan publikasi ringkas alasan penetapan perkara (tanpa mengganggu due process).
Keempat, Penguatan Peradilan Tipikor. Tingkatkan judicial reasoning melalui benchbook tipikor, case management yang ketat, dan sentencing guideline yang konsisten agar disparitas vonis berkurang.
Kelima, Transparansi Terukur. Publikasikan case timeline dan key decision points perkara strategis secara terbatas–terarah untuk menjaga akuntabilitas tanpa mengorbankan kerahasiaan penyidikan.
Dengan paket kebijakan di atas, abolisi–amnesti tidak dibaca sebagai “diskresi politis belaka”, melainkan komitmen sistemik untuk menjadikan hukum sebagai sarana keadilan, bukan alat kekuasaan. Pemurnian pemberantasan korupsi artinya menajamkan pedang keadilan sekaligus membersihkan gagangnya dari noda intervensi.
Keputusan Presiden ini bukan akhir pemurniaan agenda pemberantasan korupsi, melainkan titik balik proses reformasi hukum. Prabowo menegaskan arah: penegakan hukum yang adil, imparsial, dan bebas dari kalkulasi politik. Jika konsisten diikuti oleh Kejaksaan, KPK, dan pengadilan, maka kita melangkah dari kecurigaan membangun kepercayaan publik; dari instrumentalisasi menuju supremasi hukum.
Namun, penting pula diingatkan kepada Presiden: di banyak daerah ada kebijakan publik yang diambil tanpa maksud jahat, tanpa unsur korupsi, tetapi justru dihukum. Apakah mereka juga akan mendapatkan abolisi—sebagai koreksi dan sebagai wujud kesetaraan perlakuan hukum bagi setiap warga negara? Dalam konteks pemurnian pemberantasan korupsi, kasus Tom Lembong dapat menjadi fondasi untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
Pada akhirnya, pemurnian agenda pemberantasan korupsi bukan sekadar perkara teknis hukum, melainkan soal menjaga nurani bangsa. Penegak hukum harus ekstrahati-hati: membedakan mana perbuatan pidana yang disertai niat jahat, dan mana kebijakan publik yang mungkin keliru tetapi lahir dari niat baik. Jika garis batas itu kabur, maka setiap pejabat publik akan dihantui rasa takut mengambil keputusan, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya. Karena itu, mari kita jaga agar hukum tetap tegak sebagai penjaga keadilan, bukan sebagai jerat yang salah arah. (H-3)